Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang terlampir
sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses
akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran
bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu
kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan
Hindu dan Budha hilang. Ajaran Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar abad
Penyebaran awal Islam di Nusantara dilakukan pedagang-pedagang Arab, Cina,
India dan Parsi. Setelah itu, proses penyebaran Islam dilakukan oleh
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara melalui perkawinan, perdagangan dan
peperangan. Banyak masjid yang diagungkan di Indonesia tetap
mempertahankan bentuk asalnya yang menyerupai (misalnya) candi Hindu/Buddha
bahkan pagoda Asia Timur, atau juga menggunakan konstruksi dan ornamentasi
bangunan khas daerah tempat masjid berada. Pada perkembangan selanjutnya
arsitektur mesjid lebih banyak mengadopsi bentuk dari Timur Tengah, seperti
atap kubah bawang dan ornamen, yang diperkenalkan Pemerintah Hindia
Belanda. Kalau dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi
pada budaya yang masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau
Jawa, memiliki bentuk yang hampir sama dengan candi Hindu – Budha. Hal ini
karena terjadi akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya
luar.Antar daerah satu dengan yang lain biasanya juga terdapat perbedaan
bentuk. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya
setempat. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut,
tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku
masyarakat Indonesia. Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada
bangunan masjid, makam, istana. Untuk lebih jelasnya silakan Anda simak gambar
berikut:
''Masjid Aceh
merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia.''
Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar
memiliki ciri sebagai berikut: Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk
limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak
untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.Tidak
dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar
Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug
untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan
budaya asli Indonesia.Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah
barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas
bukit atau dekat dengan makam.
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam,
juga terlihat pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam
Sendang Duwur berikut ini:
''Makam Sendang Duwur (Tuban)''
Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat
dari:
makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang
keramat.
makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau
Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri
yang disebut dengan cungkup atau kubba,dilengkapi dengan tembok atau gapura
yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam.
Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan
ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).di dekat
makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam
tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur
seperti yang tampak pada gambar tersebut.
· O MASJID AGUNG DEMAK
Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid tertua di Indonesia.
Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai
pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam,
disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah
Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak. Masjid ini
mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat
tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan
terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka
Majapahit. Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa
makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah
museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung
Demak.
· O MASJID MENARA KUDUS
Masjid Menara Kudus
(disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar) adalah mesjid yang
dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan
menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama dan
terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah.Yang
paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi
bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga
keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui
kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia.Keberadaannya yang
tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah
menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa
disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy.
''Menara Masjid Kudus
merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak
Candi Hindu Majapahit''
Bangunan menara berketinggian
18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar ini secara kuat
memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa
dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi
Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan
material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan
digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa
disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan
candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian
kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan
empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak
atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang
bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen
arsitektur Jawa-Hindu.
· O MASJID AGUNG BANTEN
Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km
sebelah utara kota Serang, ibu kota Provinsi Banten ini menjadi obyek wisata
ziarah arsitektur yang sangat menarik, karena gaya seni bangunan yang unik dan
terdapat elemen arsitektur menarik. Sisi menarik pertama dari bangunan
utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin
(1552-1570), sutan pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan
Gunung Jati itu adalah atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan bangunan
utama masjid yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina
bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga
menampilkan keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di
sepanjang Pulau Jawa, bahkan di seluruh Indonesia. Yang paling menarik
dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris
paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu
berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur
penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu
memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah,
namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri. Dua tumpukan atap
paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap
penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti
itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima
atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai
elemen estetik. Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang
besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk
menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara
bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid
Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara
di Jawa. Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi
kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara
pandang/pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada
sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang
Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu
menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
· O MASJID SULTAN SURIANSYAH
Masjid Sultan Suriansyah adalah sebuah masjid bersejarah yang
merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa
pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk
agama Islam. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin
Utara, Kota Banjarmasin. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian
mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini
didirikan di tepi sungai Kuin. Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah
merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan
dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid
Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan
Hindu.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Read more: http://belajardesaindanarsitektur.blogspot.com/2012/07/perkembangan-arsitektur-islam-di.html#ixzz2LjBIndl1
0 komentar:
Posting Komentar